Senin, 16 Juni 2014

Satu Coretan Tentang Pudarnya Rasa Kemanusiaan Ditengah Hedonisme...

 MATI RASA

Andai aku mereka pasti dunia tak akan sekejam ini padaku. Ibukota adalah surga bagi orang yang kejam tehadap dunianya. Apartemen bertingkat, mobil mengkilap, leher bertahtahkan berlian hanya untuk mereka yang sukses. Bukan untuk aku yang hidup hanya dengan mengandalkan gerobak karat dan beristanakan kardus reot di perkampungan kumuh pinggiran kota. Keputusanku satu tahun yang lalu untuk menjadi manusia urban telah mengubah hidupku sedemikian rupa. Ibukota telah mengajarkanku betapa kerasnya kehidupan ini, tak ada hal yang dilakukan tanpa imbalan dan hidup butuh uang, tak sedikit orang kota yang mendewakan uang. Lepas dari itu semua, mereka adalah orang yang tak peduli akan lingkungannya. Gundukan sampah dari mereka seenaknya menggunung  mendiami sungai-sungai dan setiap tempat yang mereka jamah. Mereka tak pernah peduli dengan apa yang mereka perbuat.
Gedung–gedung semakin tinggi menjulang hingga menyentuh atap–atap langit, kendaraan roda empat dan kuda besi semakin merayap dijalanan Ibukota, persawahan menjadi pemukiman padat penduduk. Tahun demi tahun alampun memendam kepedihannya, rintik–rintik tangisan dari langit seakan menggambarkan betapa tersiksanya melihat alam ini dirusak seenaknya oleh manusia. Namun, dengan kemampuan dan selembar ijazah SMP yang ku miliki membuat sampah menjadi dewa penyelamat dalam hidupku, inilah kehidupan yang aku dapatkan dari buangan mereka. Sehelai sampah yang coba ku ubah dengan kemampuanku yang serba terbatas menjadi kepingan koin untuk menyambung hidup.
Hari – hari, aku habiskan berkutat dengan buangan mereka dan bahkan berebut lahan dengan        orang yang bernasib sama dengan ku. Orang yang tak pandai mengolah kehidupan maka kehidupanlah yang akan menganak tirikannya. “Semakin tinggi saja ini gundukan.” Cetusku memecah kebisingan kota, nampak seorang laki-laki paruhbaya berbalut kain kumuh dengan gendongan keranjang yang ada dibelakang punggungnya tertarik mendengar ucapanku, palingan wajahnya sempat kutangkap. Wajah itu tanpa ekspresi, “Yah, bagaimana tak semakin tinggi, tahun demi tahun manusia semakin menyemut di Ibukota. Seperti kita inilah, tak punya kemampuan apa–apa sok–sokan ke kota. Kalau begini kejadiannya tak ada kerjaan hanya bisa menganggur, banter–banter jadi tukang rongsok seperti kita. Maksud hati merantau untuk sukses, malah tua jadi pengangguran. Lahan makin sempit, dan rasa kemanusiaan merekapun semakin menyempit dan terkikis karena persaingan yang semakin tinggi.”
“Benar juga katamu kek, lihat saja orang–orang yang ada di gedung–gedung itu seenaknya saja membuang sampah tanpa tengok kanan-kiri, depan-belakang.”
Hari pun berganti, namun Ibukota tetaplah sama, tetap dengan kebisingan dan tentu sampah–sampahnya, tetapi mendadak aku merasa ada hal yang hilang belakangan ini. Lelaki  paruhbaya itu sudah tak pernah terlihat batang hidungnya, entah apa yang terjadi padanya. Pandanganku melayang menembus angan, tergambar semburat senyum diwajah tua yang telah dipenuhi garis kehidupan, walaupun begitu aku merasa ada yang berbeda dengan ulasan bibirnya.
Langit berubah kelam, senja yang datang membawa semburat merah menandakan aku harus segera kembali keperaduan. Angin berhembus membelai kalbu, saat tiba–tiba lembaran itu menampar pipiku, mataku tersorot memandang sebuah gambar yang ada didalamnya. Wajah itu seakan tak asing lagi bagiku, semuanya penuh dengan derai cairan berwarna merah. Matanya terpejam, bibirnya menyimpulkan senyum terakhir seakan menggambarkan kebebasan dari semua belenggu kehidupan yang coba dipikul. Seakan ia mengejek makhluk nestapa bernyawa lainnya. Kulafalkan kata demi kata dibawahnya.
Jakarta (10/11) Seorang lelaki paruhbaya korban tabrak lari tergeletak bersimbah darah di tepi Jalan Suropati. Diperkirakan korban masih bernafas setelah terjadi penabrakan. Hasil otopsi menyatakan korban hanya menderita patah tulang, namun mengalami pendarahan hebat. Menurut saksi mata, pelaku yang mengendarai ferrari sempat turun dan memarahi korbannya.(Foto diambil satu jam setelah peristiwa)-Suryo Naroto.
Bola mata ini seakan terbakar, menguapkan butir – butir kepedihan diraut senduku. Entah apa yang ada dalam benak mereka hingga tak ada belas kasih tertambat sedikitpun dihatinya. Semakin sempit lahan di Ibukota, semakin menyempit pula rasa kemanusiaan mereka. Raga-raga bernyawa lalu lalang tanpa mendengar berita duka. Sanubari tertutup dengan gelimang harta. MATI RASA. Frasa pelambang nurani manusia tanpa belas kasih terhadap sesama dan tempat berpijaknya.
Hidup memang untuk berjuang bukan hanya tempat penggantung asa tanpa pengorbanan. Sebagai penghindar diri dari kesadisan dunia yang memenjarakan. Tapi kekejaman bukan alat mengejamkan sesama. Maka lembutkanlah dunia ketika dunia kejam terhadapmu.

By. Eko PR,  November 2013       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar