MATI RASA
Andai aku mereka pasti dunia tak akan sekejam ini padaku. Ibukota
adalah surga bagi orang yang kejam tehadap dunianya. Apartemen bertingkat,
mobil mengkilap, leher bertahtahkan berlian hanya untuk mereka yang sukses.
Bukan untuk aku yang hidup hanya dengan mengandalkan gerobak karat dan
beristanakan kardus reot di perkampungan kumuh pinggiran kota. Keputusanku satu
tahun yang lalu untuk menjadi manusia urban telah mengubah hidupku sedemikian
rupa. Ibukota telah mengajarkanku betapa kerasnya kehidupan ini, tak ada hal
yang dilakukan tanpa imbalan dan hidup butuh uang, tak sedikit orang kota yang
mendewakan uang. Lepas dari itu semua, mereka adalah orang yang tak peduli akan
lingkungannya. Gundukan sampah dari mereka seenaknya menggunung mendiami sungai-sungai dan setiap tempat yang
mereka jamah. Mereka tak pernah peduli dengan apa yang mereka perbuat.
Gedung–gedung semakin tinggi menjulang hingga menyentuh atap–atap
langit, kendaraan roda empat dan kuda besi semakin merayap dijalanan Ibukota,
persawahan menjadi pemukiman padat penduduk. Tahun demi tahun alampun memendam
kepedihannya, rintik–rintik tangisan dari langit seakan menggambarkan betapa
tersiksanya melihat alam ini dirusak seenaknya oleh manusia. Namun, dengan
kemampuan dan selembar ijazah SMP yang ku miliki membuat sampah menjadi dewa
penyelamat dalam hidupku, inilah kehidupan yang aku dapatkan dari buangan
mereka. Sehelai sampah yang coba ku ubah dengan kemampuanku yang serba terbatas
menjadi kepingan koin untuk menyambung hidup.
Hari – hari, aku habiskan berkutat dengan buangan mereka dan bahkan
berebut lahan dengan orang yang
bernasib sama dengan ku. Orang yang tak pandai mengolah kehidupan maka kehidupanlah
yang akan menganak tirikannya. “Semakin tinggi saja ini gundukan.” Cetusku
memecah kebisingan kota, nampak seorang laki-laki paruhbaya berbalut kain kumuh
dengan gendongan keranjang yang ada dibelakang punggungnya tertarik mendengar
ucapanku, palingan wajahnya sempat kutangkap. Wajah itu tanpa ekspresi, “Yah,
bagaimana tak semakin tinggi, tahun demi tahun manusia semakin menyemut di Ibukota.
Seperti kita inilah, tak punya kemampuan apa–apa sok–sokan ke kota. Kalau
begini kejadiannya tak ada kerjaan hanya bisa menganggur, banter–banter jadi
tukang rongsok seperti kita. Maksud hati merantau untuk sukses, malah tua jadi
pengangguran. Lahan makin sempit, dan rasa kemanusiaan merekapun semakin
menyempit dan terkikis karena persaingan yang semakin tinggi.”
“Benar juga katamu kek, lihat saja orang–orang yang ada di gedung–gedung
itu seenaknya saja membuang sampah tanpa tengok kanan-kiri, depan-belakang.”
Hari pun berganti, namun Ibukota tetaplah sama, tetap dengan kebisingan
dan tentu sampah–sampahnya, tetapi mendadak aku merasa ada hal yang hilang
belakangan ini. Lelaki paruhbaya itu
sudah tak pernah terlihat batang hidungnya, entah apa yang terjadi padanya.
Pandanganku melayang menembus angan, tergambar semburat senyum diwajah tua yang
telah dipenuhi garis kehidupan, walaupun begitu aku merasa ada yang berbeda
dengan ulasan bibirnya.
Langit berubah kelam, senja yang datang membawa semburat merah
menandakan aku harus segera kembali keperaduan. Angin berhembus membelai kalbu,
saat tiba–tiba lembaran itu menampar pipiku, mataku tersorot memandang sebuah
gambar yang ada didalamnya. Wajah itu seakan tak asing lagi bagiku, semuanya
penuh dengan derai cairan berwarna merah. Matanya terpejam, bibirnya
menyimpulkan senyum terakhir seakan menggambarkan kebebasan dari semua belenggu
kehidupan yang coba dipikul. Seakan ia mengejek makhluk nestapa bernyawa
lainnya. Kulafalkan kata demi kata dibawahnya.
Jakarta (10/11) Seorang lelaki paruhbaya korban tabrak lari
tergeletak bersimbah darah di tepi Jalan Suropati. Diperkirakan korban masih
bernafas setelah terjadi penabrakan. Hasil otopsi menyatakan korban hanya
menderita patah tulang, namun mengalami pendarahan hebat. Menurut saksi mata,
pelaku yang mengendarai ferrari sempat turun dan memarahi korbannya.(Foto diambil
satu jam setelah peristiwa)-Suryo Naroto.
Bola mata ini seakan terbakar, menguapkan butir – butir kepedihan
diraut senduku. Entah apa yang ada dalam benak mereka hingga tak ada belas
kasih tertambat sedikitpun dihatinya. Semakin sempit lahan di Ibukota, semakin
menyempit pula rasa kemanusiaan mereka. Raga-raga bernyawa lalu lalang tanpa
mendengar berita duka. Sanubari tertutup dengan gelimang harta. MATI RASA.
Frasa pelambang nurani manusia tanpa belas kasih terhadap sesama dan tempat
berpijaknya.
Hidup memang untuk berjuang bukan hanya tempat penggantung asa
tanpa pengorbanan. Sebagai penghindar diri dari kesadisan dunia yang
memenjarakan. Tapi kekejaman bukan alat mengejamkan sesama. Maka lembutkanlah
dunia ketika dunia kejam terhadapmu.
By. Eko PR, November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar